Jumat, 20 November 2009

PEMAHAMAN ADAT BATAK

SIAPA YANG BERHAK ATAS RUMAH WARISAN ?
Oleh
Op. ni So Tarjua Ro Berkat


Sering menjadi persoalan di dalam bersaudara, seiring dengan sepeninggalnya orang tua. Persoalan ini, selalu terwarisi hingga sekarang. Orang tidak berani memberikan sesuatu yang pasti dari segi hukum adat. Kalau pun ada secara pribadi, belum tentu diterima oleh yang bersangkutan, Hukum adat pun tidak ada yang secara tegas menunjuk, siapa yang berhak atas rumah peninggalan orang tua. Mungkin kalau rumah peninggalan orang tua cukup kebagian satu per satu tidak menjadi masalah.

Di Samosir kebiasaan yang dipakai sebagai dasar petunjuk yang berhak mewarisi rumah, adalah, apabila orangtua laki meninggal, maka adek-adek dari anak tertua disebut, “ndang matean ama hamu. Adongdo abang mu ganti ni ama di hamu…..” bahwa pewaris tahta kerajaan adalah yang tertua. Maka rumah sebagai istana, jatuh kepada pewaris tahta. Itulah alasan di sana bahwa rumah harus kepada anak laki-laki tertua, yang melanjutkan kerajaan ayahnya.

Di luar wilayah Samosir, kepemilikan rumah warisan,sering menjadi masalah di antara kakak ber adik sebagai ahli waris, karena yang sering disaksikan orang, yang menempati rumah warisan adalah anak yang paling bungsu. Sehingga orang-orang yang menyaksikan itu, mengklaim bahwa aturan adat, mengharuskan yang berhak atas rumah warisan adalah anak yang paling bungsu. Secara depakto, memang sudah demikian kebiasaan yang dilakukan oleh pendahulu kita. Hal ini terkait dengan masyarakat yang menganut konsep “manombang” atau “marimba”. Masyarakat yang demikian memikirkan bagaimana kelak akan “pajaehon anak. Maka dimana daerah yang masih luas untuk di garap, masyarakat akan berbondong-bondong ke sana dengan harapan bisa mendapatkan tanah yang lebih luas agar bisa melaksanakan tugasnya sebagai orang tua yaitu pajaehon. Sebab konsep harajaon sudah ditinggalkan di tanah lelehurnya. Mereka hanya memikirkan, bagaimana anak-anaknya bisa mendapatkan sebidang tanah untuk perumahan dan kebun untuk bertani, maka perlu mangarimba atau manombang. Belakangan muncul trend merantau, namun tetap dalam konsep manombang, maka kita kenal hingga sekarang daerah daerah Bamban, Bimpot, Percut, dan terakhir Pulo Raja di Sumatera Timur. Kemudian masyarakat atau secara pribadi merantau dengan mengandalkan ilmu dan kemampuan, untuk bekerja secara menetap di kator atau di perusahaan, seperti kita sekarang ini. Konsep mangarimba di tinggal abis.

Kemudian muncul pemikiran hak atas tanah leluhur sebagai tanda daerah asal, yang sudah ditinggal untuk merantau mencari penghidupan yang lebih layak, dibanding dengan mengolah tanah warisan orang tua yang tidak begitu luas dan tidak akan mungkin untuk menghidupi sekian keluarga kakak ber adik.

Secara dejure memang benar, bahwa pemindahan hak atas tanah dan rumah warisan orang tua belum pernah terjadi. Sehingga wajar kalau kemudian perantaupun berhak menuntut haknya. Disinilah muncul persoalan “Siapa Yang Berhak Atas Rumah Warisan?”

Kita harus berpikir jernih melihat persoalan ini, sehingga di kemudian hari, persoalan keluarga semacam ini bisa diselesaikan dengan jelas dan jernih. Jatuhnya kepemilikan rumah warisan kepada anak bungsu, bukanlah didasari oleh adat Batak, tetapi didasari oleh pembagian akibat kebiasaan pajehon anak tadi.
1. Setelah anak tertua menikah, maka orang tua mendirikan rumah dan sebidang tanah sebagai Panjaean.
2. Demikian pula anak ke-2, ke-3, ke-4 dst.
3. Tiba saatnya anak yang paling bungsu menikah, tidak ada lagi sebidang tanah untuk dibangunkan rumah, demikian pula tanah sebidang untuk diolah. Tinggal rumah yang ditempati oleh orang tua, dan sebidag tanah kebunnya, maka didorong oleh rasa keadilan, maka rumah dan tanah yang merupakan bagian dari orang tua itu diserahkan kepada anak bungsunya, tetapi dengan syarat, selama orang tuanya hidup mereka tinggal serumah dan hidup dari tanah yang masih dikuasai oleh orang tua.
Perkembangan perjuangan dan trend dalam satu keluarga selalu berobah mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Pesoalan jatuh nya rumah warisan akan berbeda. Belakangan orang berani berkorban untuk memajukan saudaranya dalam hal menuntut ilmu di sekolahan. Maka anak tertua tadi dengan penuh kesadaran akan kemajuan jaman, maka dia bersama istrinya, membantu orang tua untuk menyekolahkan adek-adeknya, bahkan menjual sebahagian tanah untuk menyekolahkan adek-adeknya ke perguruan tinggi. Bukan persoalan berhasil atau tidak di dalam sekolahnya, tergantung pribadi yang disekolahkan. Tetapi yang mau kita lihat, adil tidaknya pemikiran seseorang didalam satu keluarga terhadap warisan seorang orang tua. Kalau kita katakan bahwa aturan adat, yang berhak atas rumah warisan adalah anak bungsu, lalu untuk yang tertua, yang sudah bersusah payah membantu orang tua, bahkan rela untuk tidak mendapatkan apa-apa asal adek-adeknya sekolah. Yang menjadi pertanyaan, apakah penetapan menurut adat tadi tetap benar?
Persoalan lain adalah dengan sekuat tenaga, orang tua banting tulang bekerja untuk mendapatkan uang demi menyekolahkan anak-anaknya, dari yang tertua hingga kepada anaknya yang bungsu. Orang tua tidak memikirkan lagi sebidang tanah untuk yang tertua, kedua, ketiga dst. Karena warisan itu sudah ditukarkan oleh orang tua dengan pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah. Lalu pertanyaan timbul kembali, siapakah yang berhak atas rumah peninggalan orang tua mereka? Masihkah kita katakan menurut adat? Lalu siapakah ahli adat batak yang merekomendasikan bahwa si bungsu yang berhak atas peninggalan orang tua? Atau buku berjudul apakah yang mengatakan demikian sebagai refrensi pernyataan tersebut? Tidak ada yang bisa menjawab, dan tidak ada yang bisa menunjukkan bukunya. Lalu kenapa ada pernyataan demikian? Tidak lain adalah karena melihat suatu momentum yang menjadi monumenatal sampai sekarang di dalam satu keluarga yang hidup dalam konsep mangaribba atau manombang. Menurut penulis, yang paling adil adalah menjadi milik bersama terhadap rumah warisan, yang lainnya dibagi bersama secara adil dan merata.(rb.14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar